16 Desember 2012

Duka Berujung Bahagia



Hei Readers  kali ini aku bakal ngepost cerpen hasil coret coretan aku  wkwk, lumayan sih, tapi baca aje deh ya! maaf kalo jelek, soalnya aku masih amatir, mhehe judulnya Duka Berujung Bahagia selamat membaca!
________________________________________
Aku suka senja, di saat langit berwarna jingga bercampur dengan kuning sinar matahari. Matahari pun seolah mengucapkan perpisahan pada langit karena ingin berisitirahat sejenak. Aku suka kala senja muncul di ufuk barat langit, saat hingar bingar kegiatan seolah mereda, aku suka suasananya yang mulai tenang. Seperti biasa setiap sore aku menatap langit dari balkon kamarku, duduk di kursi santai sambil memandang langit atau sekedar memejamkan mata meresapi hangat sinar mentari yang sebentar lagi hilang dari peraduannya.


Saat matahari benar-benar meredup dan berganti malam. Ini bukan lagi waktuku untuk menikmati hari yang santai saat senja. Denisa Andara kembaranku membuka pintu yang mengarah ke balkon dari kamarnya. Kamar kami memang bersebelahan dan balkon kamar kami juga tidak disekat jadi hanya ada satu bangku panjang untuk bersantai. “Gantian dong, gue mau nyantai di sini liat bulan!” Kami sama-sama menyukai duduk di balkon, tetapi kami memiliki waktu yang berbeda, Denis lebis suka malam hari saat bulan muncul dan aku lebih suka saat senja.
“Rese lo baru juga jam tujuh, bulan juga belom nyampe tau masih di barat noh, ganggu aja!” Aku bangkit sambil menggerutu kesal melihat Denis. “Dengerin gue ya, justru saat bulan muncul di barat itu yang keliatan keren banget. Lagian kan lo kan udah sepanjang sore duduk di sini tau.” Aku masuk meninggalkannya di luar. Dulu kami selalu menyukai hal yang sama, aku dan dia bukan dua orang yang kembar identik, aku cendrung mirip dengan ayah dan Denis lebih mirip dengan bunda.
Kami dua orang yang selalu bersama, memiliki kebiasaan yang sama dan menyukai hal yang sama. Aku dan Denis bisa dibilang sama-sama cantik, meski kami tidak mirip. Dia punya kelebihan yang membuatnya menarik begitu pula denganku. Sekarang kalau melihat kami berdua bukan seperti saudara yang saling melengkapi lagi, tapi kami lebih memilih untuk seminim mungkin bertemu. Aku juga berubah bukan lagi seorang Gashani Alandra atau Gesha yang lembut seperti Denis. Sebuah kejadian di masa lalu yang membuat aku dan Denis berubah menjadi kaku tak seperti dua orang saudara kembar. Aku berbaring di tempat tidurku dan kembali mengingat masa laluku.
Aku tidak pernah membencinya, sama sekali tidak hanya saja melupakan sesuatu yang saat itu menikamku sangatlah sulit sekarang. Dulu aku punya pacar dari SMP kelas tiga, namanya Canavaro, hubunganku dengannya berlanjut sampai kelas dua SMA. Tidak perlu diragukan lagi aku sangat menyayanginya, tapi sayang kerena aku dan Denis sering menyukai hal yang sama, Denis juga mulai menyukai Canavaro. Aku tidak tahu bagaimana prosesnya mereka mejalin hubungan juga di belakangku. Sampai pada suatu senja aku melihat mereka bersama sedang berciuman di taman dekat perumahanku. Jangan tanya apa yang aku rasakan, pasti sangat menyakitkan tapi aku tidak bisa membenci Denis karena dia adikku. Aku menghela napas panjang dan memanggil mereka berdua.

“Denis, Varo! Apa yang kalian berdua lakuin?” aku berusaha bersikap setenang mungkin, tapi tanganku mengepal menahan amarah. Mereka berdua kaget dan saling melepaskan. Tampak raut wajah Denis merasa bersalah begitu juga wajah Canavaro.

“Gesha, gue minta maaf bukan maksud gue buat ngerebut cowok lo. Gesh, please jangan marah sekarang dengerin gue dulu ya! Jujur gue emang suka sama Canavaro, diem-diem gue deketin dia dan nggak nyangka dia juga ngebales usaha gue. Apa yang lo liat barusan itu kesalahan gue Gesh, gue yang maksa dia buat nyium gue. Jujur gue penasaran perasaan Varo lebih milih gue atau lo, dan yang tadi gue rasain dia bingung Gesh. Gue rasa dia sama-sama sayang sama kita berdua.” Denis memberikan alasan yang bukan menenangkanku, tapi justru membuatku semakin sakit. Ku lihat Canavaro dengan wajahnya yang cemas dan merasa sangat bersalah. Dari tadi dia hanya mampu berdiam diri tanpa mengucapkan satu patah kata pun. Aku mendekatinya dan menatap matanya dengan bendungan air mata yang masih coba ku tahan.

“Kamu nggak seharusnya kaya gini. Kalau kamu sayang sama Denis kamu bilang baik-baik sama aku. Sekarang liat deh, aku kecewa banget sama kamu. Aku nggak akan marah kalo emang cewek itu Denis. Kamu bebas dari aku sekarang! Aku janji nggak akan mempermasalahin hal ini. Aku sayang kamu dan aku juga lebih sayang Denis adikku, aku ikhlas Varo. Maaf kalo selama ini buat kalian susah harus sembunyi-sembunyi di belakangku, semoga bahagia.” Aku memegang kedua pipinya dan menciumnya sekilas lalu berbalik pulang ke rumah.

Senja hari ini memberikan goresan dan kenangan buruk untukku, aku melihat kebelakang mereka berdua sedang berdebat entah apa yang mereka perdebatkan. Aku sudah tidak ingin tahu lagi masalah mereka. Aku kembali berjalan ke arah rumahku, dari belakang Varo mengejarku dan memanggil namaku. Aku behenti sejenak ku lihat pula Denis dibelakang Varo mengejarnya. Sayang saat Varo hendak menghampiriku yang ada di seberang jalan, sebuah mobil berkecepatan tinggi menabrak tubuhnya. Aku tidak percaya apa yang barusan aku lihat, rasanya jantugku berhenti berdetak. “Varo!” teriakku bersamaaan dengan Denis.

Aku bersama Denis dan pengendara mobil menghampiri dia yang sudah berlumuran darah. Aku memeluknya dan memangku kepalanya di kedua pahaku, sangat jelas walaupun lirih kata-kata terakhirnya padaku ,“Maaf untuk kesalahan bodoh yang aku lakuin ke kamu. Tadinya aku mau ngejar kamu dan berlutut minta maaf kamu, tapi aku sekarang sadar di saat terakhir aku liat kamu, kematian yang bisa nyelesaiin semua ini. Aku, kamu dan Denis emang seharusnya nggak akan ada yang bisa memiliki, karena akan melukai satu sama lain. Maafin aku Gesha, semoga setelah ini kamu bahagia!” Setelah itu badannya lunglai dan matanya terpejam sempurna, ada segaris senyum di bibirnya dan air mata yang keluar dari kelopak matanya yang terpejam bercampur dengan darah yang keluar dari kepalanya. Airmataku bercucuran, tidak percaya apa yang terjadi barusan dia masih bisa berbicara sangat jelas, mungkin dia menahan sakitnya dan sekarang dia sudah benar-benar tertidur tenang dipangkuanku.

Setelah Varo dibawa ke rumah sakit dia benar-benar dinyatakan meninggal. Paginya dia di makamkan, hanya aku dan Denis yang masih berada di makamnya. Aku tidak mengucapkan sepatah kata pun hanya memandangi batu nisannya, sebelum pergi aku sempat mencium batu nisannya dan pergi meninggalkan Denis di belakangku.

Denis menyusulku, dia seperti ingin mengungkapkan sesuatu, “Gesh, gue minta maaf ya sama lo. Gue tau banget gue adek lo yang nggak tau diri. Ini semua salah gue kan Gesh? Varo pergi buat selamanya.” Denis masih saja meracau mengungkapkan penyesalannya, tapi bukan kata-kata seperti itu atau macam itu yang ingin ku dengar sekarang. Bukan kata-kata yang menyalahkan diri sendiri. “Udahlah Den, percuma juga lo ngomong kaya gitu Varo udah nggak ada. Baguskan malah, nggak ada sakit hati lebih jauh lagi nanti. Tuhan emang udah bikin jalannya kaya gini, percuma lo nyalahin diri sendiri nggak guna.” Itu kata-kata pertamaku yang agak kasar untuk Denisa, dan mulai saat itulah aku berubah menjadi sosok yang lain. Bukan Gesha yang manis dan manja tapi Gesha yang cuek, tegas dan tidak banyak bicara, bahkan sampai sekarang sudah setahun kejadian itu berlalu. Sedangkan Denis, aku rasa dia cepat pulih hari-harinya sudah kembali ceria, tapi entahlah seperti ada sekat diantara kami berdua.
*****
Lamunaku buyar saat pintu kamarku diketuk dari luar, tok.. tok.. tok.. “Gesh, nyokap nyuruh makan malem, ayah juga udah pulang tuh!” suara Denis terdengar dari balik pintu kamarku, ternyata dia sudah tidak lagi duduk di balkon atau langit mendung jadi bulan tidak muncul. “Iya, sebentar lagi gue turun!” terdengar derap langkah Denis menjauh dari kamarku. Aku berkaca dulu sebelum turun, mataku agak merah karena menangis mengingat kejadian setahun yang lalu. Ku tetesi obat mata agar menetralkan kembali warna mataku.
Makan malam hari ini seperti biasa diselingi obrolan kejadian hari ini, dan begitu pula seperti biasa aku lebih banyak menyimak pembicaraan kedua orang tuaku dan adik kembarku Denis. “Ayah, bunda, aku minggu depan ada lomba dance sejakarta loh, ayah sama bunda dateng yah!” seru Denis dengan wajah yang sumringah, aku masih meneruskan makanku tanpa merespon ucapannya, “Wah, bisa tuh nanti kita nonton, kebetulan minggu depan ayah lagi nggak sibuk, nanti kita sekeluarga bisa dateng dukung kamu lomba. Kamu juga dateng ya Gesh, biar kita bisa pergi liburan bareng.” Denis mengangguk sambil tersenyum, “Maaf, aku nggak bisa dateng, minggu depan aku ada lomba judo tingkat nasional. Bunda, aku udah selesai makan, aku ke kamar duluan ya. Ada tugas yang belum selesai.” Bunda hanya mengangguk dan tersenyum simpul, ayah menatapku dengan pandangan prihatin entah apa maksudnya dan Denis sendiri diam tanpa menatapku.
****
Pagi ini aku kembali sekolah, aku lebih memilih memakai sepeda motor dari pada naik mobil diantar supir ayahku bersama Denis. Ingat aku tidak membenci Denis, hanya saja berada dalam satu tempat yang sama dalam waktu yang lama kan membuatku makin canggung, atau lebih buruknya Denis menganggapku sangat mebencinya. Makanya aku lebih memilih mengendarai sepeda motor.
Sudah pukul tujuh kurang lima menit, aku hampir terlambat sampai di sekolah SMA Pelita Bangsa, buru-buru aku menggas motorku agak keras saat masuk pintu gerbang, tapi tidak sengaja aku menabrak motor depanku, untung saja dia tidak jatuh. Dia menoleh mentapku dengan pandangan mata tajam dan memarkirkan motornya. Aku juga segera memakirkan motorku, “Maaf tadi nggak sengaja. Motor lo nggak apa-apa kan? lo juga nggak kenapa-kenapa kan?” Orang itu membuka helmnya dan menatapku dengan pandangan matanya yang tajam, tapi sedetik kemudian dia memandangku sambil memamerkan senyumnya yang jail, aku rasa aku bakal sering berurusan dengannya mulai dari sekarang. “Nggak kenapa-kenapa kok, cuma kalo lo grogi gitu ada gue di depan lo jangan sampe kaya tadi lagi lah ntar kalo gue jatoh mental, terus berdarah-darah, lo juga yang bakal nangis-nangis kan?”
Aku terdiam mendengar kata-katanya, bukan karena kata-kata narsisya tapi karena kata-kata terakhirnya mengingatkanku kembali pada sosok Canavaro. Dia menepuk pundakku berkali-kali, wajahnya berubah cemas menatapku, “Lo kenapa? Ehh kata-kata gue ada yang salah ya? Maaf ya gue kalo ngomong emang suka sembarangan.” Seketika aku sadar dan hanya memberinya senyum simpul. Aku berbalik dan berjalan menuju kelasku di lantai tiga XII IPS 2, dia menyusulku dan berjalan sejajar denganku.
“Bareng dong gue juga telat nih, oiya nama lo siapa nih? Denger-denger lo kembarannya Echa ya? tapi kok ngggak mirip sih?” Denis memang sering dipanggil Echa di sekolah, hanya aku dan keluarga terdekat saja yang memanggilnya Denis. “Iya kembar nggak identik, gue Gesha.” Jawabku singkat, dia menatapku bingung seperti sedang mencari celah agar aku lebih banyak membuka mulutku untuk menanggapinya berbicara.
“Gesha, kaya nama wanita itu tuh yang di Jepang.” Aku melotot ke arahnya, benar-benar bikin kesal dia, “Itu geisha bukan gesha, nama gue Gesha beda nyebutnya tau, Gashani Alandra!” Sepertinya aku terpancing dengan caranya, membuatku mengeluarkan kata-kata yang panjang. Dia tertawa keras sepanjang koridor melihat responku.
“Oke sorry, gue juga becanda kok, lagian geisha juga bukan sebagai pekerja seks kok, itu cuma pekerjaan sebagai penerima tamu saat upacara minum teh, cuma sekarang ini geisha disalah artikan sebagai pekerja seks. Nama gue Mahesa Leondra, lo bisa panggil gue Esa atau Leon. Ehh iya gue sekelas sama kembaran lo, Echa di kelas XII IPS 3.”
“Oke, gue rasa cukup lo ngomong banyak gitu gue pusing dengernya.” Aku melangkah memasuki salah satu bilik tolet agar dia berhenti mengikutiku. Aku rasa aku sudah terlambat masuk kelas, pelajaan pertama adalah kelasnya Pak Darma guru Matematika yang paling kiler, kalau aku masuk ke kelas sama saja bunuh diri. Akhirnya aku pergi ke kantin sekalian sarapan.
Astaga, orang itu juga berada di kantin sepertinya firasatku benar, aku akan lebih sering berusurusan dengan orang ini, meskipun sepertinya aku baru melihatnya tadi pagi. “Hai Gesh! Cabut juga ya lo? Kelas gue pelajarannya Bu Yanti, ekonomi kalo gue masuk telat yang ada suruh ngerjain soal di papan tulis, ngerti aja nggak. Lo pelajaran siapa?” sapa Leon.
“Lo kalo ngomong emang kaya orang curhat ya? panjang banget.” Jawabku singkat. Dia tersenyum manis menatapku lama, “Sebenernya nggak, gue nggak suka banyak omong cuma ngeliat lo yang lebih banyak diem dari gue. Jadi, gue rasa gue harus lebih cerewet dari lo.” Aku menatapnya sekilas lalu menyeruput teh hangatku, “Kalo gitu jadi diri lo aja jangan kebanyakan ngomong gue risih ngeliat lo.” Dia kembali tertawa geli mendengar jawabanku.
“Lo tau nggak Gesh? Lo itu sama Echa sama-sama cantik tapi dia itu lebih girly dibanding lo, jadi cantiknya keluar banget, kalo lo itu cuek liat deh apa yang lo pake cuma seragam SMA sama gelang item butut di tangan lo. Setau gue dulu waktu lo masih kelas satu lo berdua dandannya mirip dan sama-sama cantik, ceria dan banyak temen. Sekarang kalo gue liat lo beda banget deh dari yang dulu. Sadar nggak? Gue selalu ada di sekitar hidup lo sama Echa? Gue temen sekelas Echa dari kelas satu dan otomatis gue juga sering liat lo , tapi tadi pas kita ketemu lo sama sekali nggak kenal gue. Makanya gue pura-pura juga nggak tau nama lo siapa dan nggak tau lo kembarannya Echa. Gue penasaran banget apa yang bikin lo berubah jadi kaya gini.”
“Kalo cuma buat itu lo ngintilin gue dari pagi, lebih baik nggak karena usaha lo bakal sia-sia!” Itu jawabanku, sebelum aku berdiri untuk meninggalkan kantin, tapi satu tangan mencengkram tanganku erat, “Oke, maaf gue nggak bermaksud gitu. Gue cuma mau kenal lo, boleh kan?” dia memandangku tepat di manik mataku, pandangannya tajam tapi teduh, dia serius tapi tidak menakutkan, aku mengangguk sekali dan seketika senyumnya pun merekah dari bibirnya yang merah alami.
*****
Sudah sebulan ini aku mengenal leon dan akhir-akhir ini ada yang berbeda dalam hidupku. Aku menjadi lebih mudah tersenyum dan tertawa. Pembawaannya yang selalu terlihat tenang tanpa terpancing emosi membuatku lebih merasa nyaman dengannya. Aku tidak tahu apa yang terjadi dengan perasaanku, aku sendiri bingung memikirkannya. Sore ini aku kembali menatap senja, bukan di balkon kamarku tapi di ayunan depan rumahku. Aku duduk bersandar di ayunan dan mataku menerawang menatap langit.
Dulu aku sering menatap senja dari ayunan ini bersama Canavaro, menikmati ketenangan dan hangatnya sinar matahari sore yang meresap ke pori-pori kulitku. Setelah kejadian itu, aku tidak pernah lagi mau melihat senja dari ayunan ini, karena saat senja muncul itulah saat aku benar-benar mengingat kejadian yang paling melukai hatiku. Hari ini, aku tidak mengerti mengapa sejak pukul empat sore aku sudah duduk di ayunan ini sambil menatap langit yang perlahan-lahan berubah warna. Percaya atau tidak bayangan wajah Leon seperti terbentuk di sisa-sisa guratan awan sore, aku tersenyum memandangnya.
Tidak lama ayahku pulang dari kantornya, begitu turun mobil dia tidak langsung masuk ke rumah. Ia menghampiriku dan duduk tepat di depanku, aku tersenyum kecil menatap wajahnya yang terlihat cukup lelah, “Ayah kok nggak masuk? Kan baru pulang pasti capek.” Dia menggeleng pelan dan membalas senyumku.
“Ayah, mau nemenin anak ayah di sini. Ayah nggak tega liat kamu setahun belakangan ini. Gashani Alandra, bagi cerita sedihmu sama ayah. Udah setahun lebih kamu berubah kaya gini, kamu kehilangan keceriaan kamu, temen-temen kamu, sikap kamu dan pandangan mata kamu yang berbinar setiap harinya. Kamu tukar semua itu dengan sikap dingin kamu, kesendirian kamu dan kesedihan kamu, pandangan mata kamu cuma ada kesedihan, kekecewaan dan luka yang seharusnya kamu nggak kamu rasain di usia kamu saat ini. Gesha, cerita sama ayah sekarang semua yang kamu rasaian. Kamu tau nggak Canavaro juga nggak akan tenang liat kamu yang kaya gini sekarang. Maafin Denis, kamu harus coba ikhlas lepas semuanya, jangan ada dendam dan benci dalam hati kamu! ”
Air mataku mulai bercucuran, kata-kata ayah yang tenang itu membuatku merasakan perhatiannya yang menyentuh hatiku, sifat manjaku pada ayah kembali muncul di saat seperti ini. “Aku nggak pernah marah dan benci sama Denis ayah, aku bahkan sayang banget sama dia. Aku cuma belum bisa lupain semuanya. Aku sakit yah, sakit banget kalo aja ada sedikit perasaan yang bisa aku luapin depan Denis, gimana sakitnya aku, gimana kecewanya aku sama adikku mungkin akan lebih baik, tapi aku nggak bisa karena dia satu-satunya saudara aku, aku nggak bisa marah terlebih lagi benci sama dia. Maafin aku, untuk semua sikapku selama ini, aku cuma nggak tau apa yang bisa aku lakuin. Aku masih sayang sama Canavaro yah, tapi sekarang dia udah pergi jauh, terlebih lagi sebelum dia pergi dia sempet ngecewain aku sama adikku sendiri. Aku bingung mau gimana ngeluapin perasaan sakit yang ada, aku belajar judo cuma biar aku puas ngeluarin emosi aku, tapi itu nggak pernah cukup yah.”
Ayah memelukku lembut, aku menangis di bahu ayahku. Nyaman sekali berada dalam pelukan ayah, karena dari kecil aku lebih dekat dengan ayah dari pada bunda. Dia mengurai pelukannya, matanya merah, ayah juga menangis mendengarkan ceritaku.
“Gesha, ayah ngerti semua yang kamu rasain. Percaya deh, saat ayah suka sama bunda kamu juga dulu jalannya susah. Banyak banget hal yang dateng buat misahin ayah sama bunda. Bahkan ayah harus kehilangan bunda kamu selama lima tahun gara-gara dia berkorban untuk temennya yang suka sama ayah. Kamu juga harus belajar ikhlas, percaya sama Tuhan Gesh, mengadu sama Tuhan. Kamu harus percaya dibalik semua air mata kamu akan ada kebahagiaan yang luar biasa yang akan kamu dapet nanti. Jujur aja ayah nggak tau harus ngapain lagi liat kamu yang sehari-harinya kaya gini terus.”
“Ayah jadi kaya nggak berguna depan kamu. Maafin ayah juga yang kurang peka sama kamu. Ayah lupa kamu lebih deket sama ayah dibanding sama bunda, tapi asal kamu tahu bunda kamu yang suka senyum depan kamu itu juga sering nagis malem-malem karena nggak tega liat anaknya yang cantik ini jadi berubah murung.” Ayah mengusap air mataku dan aku jadi tersenyum mendengar setiap kata yang aku katakan, aku memeluknya lagi dan berguman “makasih ayah.”
“Yaudah masuk yuk, udah mau magrib tuh!” aku tersenyum jail, “Ayah, gendong belakang ya. aku lagi pengen digendong sama ayah lagi.” Alis ayah menyatu dan keningnya berkerut, tapi akhirnya dia mengangguk dan tersenyum lalu aku melompat ke punggung ayah. Bunda mengintip dari jendela dan dia tersenyum melihatku.
****
Setelah makan malam aku duduk di balkon kamarku, sambil membaca kumpulan soal-soal UN. Saat ini bulan tidak ada karena langitnya mendung, jadi Denis tidak akan duduk di sini malam ini. Ternyata dugaanku salah, Denis keluar dari pintu kamarnya menuju balkon sambil membawa secangkir cokelat panas. “Sorry gue nempatin tempat lo, gue pikir lo nggak mau duduk di sini, soalnya nggak ada bulan. Yaudah gue ke dalem dulu deh.” Aku bangkit dari dudukku, tapi sebelum membuka pintu kamar Denis memanggilku. “Gesh, duduk sini aja, nggak apa-apa bangkunya kan panjang.” Aku menimbang-nimbang untuk masuk atau tetap di sana, akhirnya aku memutuskan untuk tetep duduk di sana.
Aku kembali serius dengan buku yang sedang aku baca, Denis mulai membuka suaranya lagi, “Gesh, lo suka sama Leon?” Aku agak bingung dengan arah pembicaraannya, “Hemm.. emang kenapa?”
“Jadi lo suka juga sama dia? Gue suka sama dia, Gesh.” Aku menghela napas pendek, “Lo suka ya tembak aja, ambil buat lo Cha, lo lebih dulu kenal dia kan?” jawabku masih sambil melihat bukuku. “Gue nggak mau lo selalu ngalah sama gue Gesh, lo marah ya sama gue? Lo kalo manggil gue pake Echa pasti lo lagi marah sama gue.” Aku menatapnya tajam “Kalo gue manggil lo Den, ntar gue disangka songong manggil nama nyokap. Terus lo mau gue gimana? Nyuruh gue jadian terus ntar lo nembak dia lagi di belakang gue? Atau lo yang jadian terus nanti gue yang gantian ngerebut dia dari lo? Atau lo mau dia mati juga kaya Canavaro? Gue nggak ngerti sama lo!”
Aku masuk ke kamarku dan meninggalkannya di balkon sendirian, entah apa yang dia lakukan aku sudah cukup lelah saat ini. Bukan aku tega berkata seperti itu pada Denis, aku hanya ingin dia mengerti. Leon sosok itu harus juga aku lepas untuk Denis, adikku. Ahh perasaanku benar-benar kacau. Saat aku mengenal Leon dia yang mampu membuatku sedikit berubah dan mengenal dunia kembali, tapi kalau masalahnya adalah Denis juga menyukai Leon maka aku lah yang harus mundur.
*****
Pagi ini aku kembali datang hampir terlambat, semalam aku tidak bisa tidur. Lagi-lagi aku bertemu Leon di depan pintu gerbang motorku berada persis di depannya. Dia mngklaksonku berkali-kali, tapi aku acuhkan begitu saja. Saat aku memarkirkan motorku dia menghampiriku, “Sombong banget lo gue klaksonin juga!” aku masih cuek saja menghadapinya. Ku tinggal dia di parkiran sekolah, “Lo kenapa lagi sih Gesh? Galau mulu kerjaannya!” Leon menarik tanganku agar aku berbalik menghadapnya, tatapan matanya yang tajam menusuk hatiku, dia seperti kesal karena ulahku.
“Lo jangan deket-deket sama gue lagi. Gue nggak mau kejadian yang bikin gue ancur keulang lagi. Gue nggak mau lo mati juga karena terlibat urusan cinta yang picisan sama gue dan Denis! Mending sekarang lo pergi ke Denis dan jangan deket-deket gue lagi!” Seketika air mataku kembali turun dengan derasnya, untuk pertama kalinya aku kembali menangis di hadapan cowok selain Canavaro.
Leon memeluk tubuhku yang gemetar karena emosi, aku yang sadar langsung mendorong tubuhnya sampai terbentur tembok koridor sekolah. “Gue nggak mau lo kaya Canavaro, gue nggak mau ngeliat lo juga pergi selamanya karena keegoisan gue dan Denis. gue mau lo jangan ganggu gue!”
“Kenapa? Kenapa gue harus deket-deket sama Denisa? Gue nggak mau Gesha, gue maunya deket sama lo! Gue sayangnya sama lo bukan sama dia! Kalo gue nggak bisa suka sama dia kenapa harus dipaksa? Siapa pun Canavaro itu, apa hubungannya sama gue?”
“Lo salah Gesh, Canavaro pergi karena gue bukan karena lo. Gue yang berusaha ngerebut dia dari lo. Gue yang salah Gesha, gue yang maksa dia nyium gue di taman, gue yang maksa dia ngelakuin itu. Waktu lo pergi tau apa yang dia bilang? Dia bilang, lo itu cewek yang paling ngerti dia dan yang paling tau dia, lo bahkan bisa nyentuh hati dia sampe ke dasarnya. Waktu lo bilang lebih baik dia sama gue aja, dia sadar selama ini dia salah. Salah banget udah ngecewain lo, dia hampir nangis waktu itu, dia bilang dia nggak kuat kalo harus kehilangan seorang Gashani Alandra. Cuma cowok goblok yang bisa ngelepas lo, karena bukan masalah cantik aja tapi lo berkesan buat dia dengan segala sikap lo.”
“Lo tau nggak gue sempet maksa dia dan mohon-mohon supaya dia tetep sama gue tapi dia nolak, dia beneran sayang sama lo dan ngejar lo sampe akhirnya kecelakaan itu nggak bisa dihindarin. Kalo ditanya siapa yang salah jawabannya itu gue Gesh, gue nggak ada bersyukurnya punya kakak yang luar biasa kaya lo. Gue bingung dan gue nggak ngerti harus ngapain? Lo nggak marah sama gue, nggak benci sama gue tapi sikap lo berubah dingin ke semua orang. Sumpah gue kehilangan lo banget Gesh! Gue nggak pernah berani nanya lo kenapa, karena gue tau itu gara-gara gue.” Denis yang tidak tahu datang dari mana membeberkan segalanya di depan koridor sekolah ini. Untung saja semua siswa sudah masuk ke kelas masing-masing jadi suasananya sepi. Guru-guru yang tadinya mau menegur mereka untuk segera masuk kelas, seakan terhanyut dengan cerita dua saudara kembar ini.
“Gue mau masuk kelas, udah telat!” aku meninggalkan dua orang itu bersama guru-guru yang tadi sempat menonton kami. Aku malu menjadi tontonan mereka semua, ahh dua orang itu benar-benar menguras emosiku sejak kemarin dan yang jelas mereka berdua tidak tahu tempat sama sekali. Lucunya aku kesal, sedih, tapi juga malu dan ingin tertawa mengingat kejadian tadi. Telat sepuluh menit pelajaran Pak Darma sukses membuatku harus di tendang dari kelas dan nasibku kembali ke kantin sambil sarapan pagi.
“Gue nggak tau lo bisa nangis-nangis juga, gue pikir lo itu udah beku nggak punya perasaan. Gue juga pengen tau siapa Canavaro, kayanya dia ninggalin kenangan banget buat hati lo, dan gue juga pengen tau apa yang lo rasain ke gue.” Sosok Leon kembali menghampiriku yang sedang makan nasi goreng Bu Minah, aku meliriknya sekilas dan kembali sibuk dengan makananku. “Bisa nggak sih lo jawab gue sekarang!” Aku sedikit kaget saat leon mengebrak meja kantin, ku pandangi dia dengan pandangan menantang.
“Lo pagi-pagi udah berisik, bikin rusuh aja! Gue lagi makan nggak perlu pake gebrak-gebrak meja. Siapa pun Canavaro, dia orang yang berarti buat gue, puas lo?” aku kembali duduk dan menenggak teh hangatku. “Gue belom puas! Kenapa lo bilang kalo gue deketin lo, gue bisa mati, emang lo siapa bisa ngomong gitu? ”
“Kalo lo nggak percaya bakal mati yaudah ribet banget, Canavaro cowok gue tapi meninggal setahun lalu gara-gara ngejar gue. Abis gue putusin nggak mau, lo denger ceritanya sendiri kan tadi. Jadi, jangan kebanyakan nanya!” Aku menjawab semua pertanyaannya dengan sedingin mungkin, padahal dalam hatiku aku takut Leon marah, pandangan matanya membuatku benar-benar terkunci saat sekali saja menatapnya.
“Kenapa dia harus lo putusin? Kan akhirnya dia malah pergi buat selamanya ninggalin lo.” Dia memaksaku untuk menatap matanya, “Gue mutusin dia karena dia sama Denis juga saling sayang, dia ciuman sama Denis di taman dan dia ngecewain gue, mungkin lo denger gue orang munafik, tapi gue nggak mau adek gue patah hati gara-gara gue. Kata siapa kalo gue nggak mutusin dia dan dia nggak pergi buat selamanya hubungan gue, Denis dan Canavaro akan baik-baik aja? Niat lo emang pengen bikin gue nangis lagi ya? kalo lo menghargai gue, lo nggak akan ungkit-ungkit Canavaro saat ini.”
“Gue cuma mau tau hidup lo aja, sebelum gue masuk jauh lebih dalem ke hidup lo. Tugas pertama gue berarti nyembuhin lo dari patah hati dan gue rasa itu udah bekerja selama sebulan ini.” Aku tersedak teh hangatku, mendengar Leon ngomong begitu. “Haduh lo ngomong apaan sih?” dia duduk di depanku dan membantu mengelap air teh yang sedikit tumpah dari bibirku. “Gue suka sama lo, cukup layak nggak gue buat gantiin Canavaro?”
“Leon, lo dengerin gue ya, adek gue suka sama lo jadi mending lo sama Denis aja. Dia cantik kok, gak kalah cantik dari puteri Indonesia.” Leon menggelengkan kepalanya, “Gue nggak suka sama Echa, lagian kalo dia nggak kalah kaya puteri Indonesia lo juga nggak kalah kaya Miss World.” Kok kelakuan Leon terkadang benar-benar keterlaluan sih. Aku bingung ada cowok yang seperti ini.
“Udah Gesh, terima aja lagi Leon! Gue janji deh nggak akan ngerebut dia lagi dari lo. Soalnya gue udah sama Ka Rafka.” Denis tiba-tiba muncul di belakangku. Tunggu dulu Denis jadian sama Ka Rafka, anak tante Dira dan Om Raka. Bukannya mereka tinggal di Bandung sekarang dan keluarga kami juga cukup lama tidak pernah bertemu.
“Lo jadian sama Ka Rafka? Sejak kapan? Bukannya semalem lo bilang lo suka sama Leon juga?” Tanyaku berentetan, “Satu-satu aja kalo nanya Gesh, semelem gue belum selesai ngomong lo udah masuk lagian gue juga cuma mau ngetes lo doang, lo suka apa nggak sama Leon. Ternyata suka kan? Ka Rafka itu udah pindah dari Bandung ke sini sejak enam bulan lalu. Lo sih sukanya ngurung diri di kamar jadi kalo dia dateng sama tante Dira lo nggak muncul. Padahal sebenernya Ka Rafka tuh tertariknya sama lo, tapi karena lo nggak pernah nemuin dia selama ini, jadi dia sekarang jadian sama gue deh.” Anak itu sama sekali tidak berubah, sepertinya enak dikerjain nih. Sekalian ngerjain Leon.
“Wah gue kelewatan banyak nih, tadi lo bilang Ka Rafka sukanya sama gue kan awalnya. Berarti lo ngerebut dia lagi dong. Berhubung gue tertariknya sama dia jadi gue bakal ngerebut dia dari lo!” ucapku tegas penuh penekanan. mereka berdua kaget wajahnya pucat pasi, seketika mereka berteriak bersamaan, “APA? Nggak Boleh!” aku tersenyum sinis dan berbalik dari mereka sambil tertawa sepelan mungkin. “Whatever!”
Mereka berdua mengejarku dan menarik tanganku, “Lo jangan gitu dong Gesh, gue kan ade lo.” Ucapnya memelas, “Lo mau ngerebut si Rafka itu, ntar gue benuh diri nih.” Leon pun sama memelasnya. Aku tidak tahan akhirnya tertawa ngakak sambil memegang perutku, “Kena lo gue kerjain! Itu hukuman buat lo yang sering bikin gue nangis-nangis adekku yang rese, nggak tau malu dan sedikit bego.” Kulihat mereka berdua geram melihatku, “Apa? Mau marah-marah sama gue? Sini! Gue tinggalin beneran lo!” Aku menunjuk Leon, dia yang tadinya sudah ingin meledak menjadi kalem kembali. Kalau dilihat-lihat Leon mirip ayahku, kalau ayah sama bunda lagi berantem terus bunda ngancem, ayah pasti langsung lembut lagi.
“Gesh, lo udah nggak marah sama gue kan? lo udah balik jadi Gesha yang dulu kan?” Denis menatapku dengan wajahnya yang sendu. “Gue nggak pernah marah sama lo, kecewa iya, tapi gue lebih sayang sama lo kok. Kalo untuk balik lagi kaya dulu gue rasa nggak bisa deh, gue udah nyaman sama yang sekarang, gue suka judo, gue suka penampilan gue yang sederhana dan nggak repot kaya lo, tapi gue tetep kakak kembar lo.” Denis langsung memelukku erat, rupanya dia juga kangen denganku. “Gue boleh deket-deket sama lo lagi kan sekarang?” Aku hanya mengangguk dan tersenyum, “Maafin gue ya udah jauhin lo, adek gue sendiri, tapi gue perlu waktu untuk nyusun hati gue lagi.” Leon masih menatapku dengan pandangan matanya yang teduh, aku tidak tahu kenapa, tapi aku sangat tersanjung dengan caranya melihatku.
“Kalo gue? Apa gue udah boleh masuk dalam hidup lo? Gue layak kan buat gantiin Canavaro?” tanyanya serius, wajahnya yang manis dengan alis tebalnya yang bertaut dan tatapan matanya yang teduh dan tajam seakan membiusku. Aku mengangguk dan tersenyum lalu memeluknya, “Lo terikat kontrak, nggak boleh ninggalin gue selamanya!” dia mengangguk dan seketika mencium bibirku, sepertinya kami tidak peduli ini kantin sekolah. Denis pun memilih untuk meninggalkanku dan Leon di kantin.
****
Hari ini malam minggu aku dan Denis akan double date bersama pasangan kita masing-masing, tapi ternyata dasar ayah sama bunda tidak mau kalah. Katanya mereka juga ingin bertemu Tante Dira dan Om Raka, jadilah kami akan makan malam keluarga. Ayahku Ramanda Wijaya dan Bundaku Denatya Rizky, ingin mengingat kembali kisah cinta mereka berdua saat masih muda dulu, katanya Tante Dira pernah menyukai ayah dan Om Raka pernah menyukai bunda, sepertinya menarik mendengar cerita mereka kembali. Aku sudah siap dengan gaun berwarna biru gelap dengan potongan dan detail yang sederhana,sapuan make up yang sangat natural sudah membuatku terlihat cantik. Kalau Denis jangan ditanya dia memakai gaun dengan warna pink soft dan make up yang sedikit lebih beragam disapukan di wajahnya, tetap cantik dengan caranya sendiri.
Leon sudah menungguku di halaman bersma Ka Rafka sedang naik ayunan. Aku tidak bohong malam ini leon benar-benar membiusku, pakaian semi formal yang digunakannya seperti terlihat memang khusus dirancang untuknya dan Ka Rafka dengan gayanya sendiri dia juga terlihat tampan. Rupanya dia benar-benar sudah menyukai Denis dan itu bagus untukku karena aku pun hanya ada Leon sekarang.
Aku dan Denis melangkah keluar bersama, kedua cowok itu langsung terperangah melihat kami berdua. Ka Rafka lebih dulu melangkah ke arah kami dan langsung menghampiriku, dia juga langsgung menggandeng tanganku. Reflek Leon dan Denis berteriak, “Salah orang! Itu punya gue!” seketika aku dan Ka Rafka tertawa, “Iya tau kok, cuma iseng aja.” Ka Rafka menjawab dengan santainya. “Awas ya pegang-pegang lagi! Gesha punya gue!” Leon dengan mimik wajahnya yang lucu membuatku dan Ka Rafka tertawa semakin geli, sedangkan Denis masih cemberut. “Tenang aja, gue nggak niat kok ngerebut Ka Rafka dari lo.” Ucapku sambil mencolek dagu Denis. Ayah dan bunda hanya tersenyum sambil menggelengkan kepala mereka berkali-kali.
Canavaro hidupku sekarang sudah kembali berwarna, aku sudah menemukan sosok pengganti kamu, orang itu Mahesa Leondra. Kalian punya sisi yang berbeda tapi sama-sama bisa menyentuh hatiku. Aku mau mulai saat ini, kamu tersenyum di sana. Cari juga bidadari cantik untuk menemanimu. Canavaro terima kasih untuk semua yang pernah kamu beri dalam hidupku. Aku rasa saat nanti kita bertemu, kita bisa sama-sama berbahagia.

0 komentar:

Posting Komentar