17 April 2013

Arti Sebuah Ketulusan (cerpen)

   Gemercik air hujan jatuh membasahi bumi, seiring dengan air mataku yang mengalir membasahi pipi. Dentingan suara petir yang menggelegarpun mampu melukiskan amarah dalam hatiku. Aku tenggelam dalam suasana malam minggu ini.
Berbeda dengan para pasangan muda-mudi ibu kota pada umumnya yang kebanyakkan menghabiskan malam minggu dengan kekasih dan pujaan hatinya, malam mingguku terasa sepi dan hampa.
Bukan karena aku tak punya pacar atau gebetan, tapi karena memang inilah nasib menjadi yang terbuang.
   “Kapan kamu jujur tentang hubungan kita?” Aku berusaha tegar setiap kali meneleponnya dimalam minggu. Sakit dalam hatiku tak dapat lagi terbendung.
   “Sabar yah Sayang, aku gak tega ngomong jujur sama Retha… Tapi aku janji, akan secepatnya jujur sama Retha.” Jawaban yang sama dari Rendy, lagi-lagi ku dengar lewat telepon.
   “Tapi aku udah capek, Ren… Sampai kapan kita kayak gini?!” Keluhku lewat telepon.
   “Iya… Aku ngerti. Udah dulu yah, nanti aku ke rumah kamu. Aku mau anter Retha pulang dulu. Bye… Love you…” Rendy langsung menutup teleponku begitu saja.
   Ku tahan semua rasa kesal, sedih, dan kecewa yang mendalam. Aku tak bisa berontak dari keadaan ini. Aku terlalu mencintainya. Bahkan aku tak mampu marah tiap kali ia tak menepati janjinya. Tak pernah merasa lelah walapun tiap saat harus mendengar janji-janji palsunya.

   Satu jam telah berlalu sejak aku meneleponnya. Tak ada satupun pesan singkat darinya, walau hanya untuk memberiku kabar dimana keberadaannya sekarang. Ku lirik jam dindingku yang berbentuk dan bergambar tokoh kartun favoritku.
   “Udah jam sebelas… Hufth…” Ucapku pasrah diiringi helaan napas yang cukup oanjang.
   Kembali ku lirik ponsel yang sejak tadi tak juga bergeming. Jika kali iniRendy,tak menepati janjinya, berarti kedelapan puluh kalinya Rendy melanggar janjinya. Padahal belum sampai tiga bulan aku menjadi pacarnya, ia selalu membohongiku dan meracunikudengan janji-janji palsunya. Aku lelah dengan semua keadaan ini. Tapi saat aku tatap wajahnya yang seakan berkata “Maaf”.
   Malam semakin larut, suara bising kendaraan bermotor nyaris tak terdengar lagi dihamparan jalan raya. Saat aku tersadar dan kembali menatap jam dinding di kamarku, ternyata jam sudah menunjukkan pukul satu pagi. Tapi Rendy tak kunjung datang seperti janjinya. Bahkan tak ada kabar darinya sampai sekarang. Akhirnya dengan penuh rasa kecewa, ku putuskan untuk tidur dalam wajah yang sembab akibat menangis selama menunggunya.
   *****

   Cahaya matahari yang mendesak masuk lewat celah ventilasi rumah, membuatku tersadar dari dunia mimpiku. Aku terbangun dan menatap jam yang tepat berada dihadapanku. Ternyata masih pukul enam pagi. Ku raih ponselku yang tergeletak di meja belajar dengan langkah kaki yang lemas. Tak ada satupun pesan atau panggilan masuk. Kali ini aku tak mampu lagi menahan semuanya. Aku harus mengakhiri semua kegilaan ini. Aku lelah bila terus dibodohi oleh cinta yang semu ini.
   Ku genggam ponselku dengan kesal, ku langkahkan kaki dengan hentakkan keras keluar dari kamarku. Tapi aku malah terkejut dengan pemandangan yang ada diluar kamarku.
   "Kamu udah bangun, Yang? Aku udah buatin sarapan nih untuk kamu..." Rendy menghampiriku sambil membawa sepiring nasi goreng buatannya.
   "Ah... Iya, makasih..." Ku raih sepiring nasi goreng yang sudah ada dihadapanku dengan sang koki yang tampan.
   "Maaf yah semalam aku gak jadi kesini..." Ucap Rendy sambil menatapku. Tatapannya itulah yang selalu mampu menghipnotisku. Rendy menatapku sambil merapihkan poniku yang masih acak-acakkan karena bangun tidur.
   "Hah?! Iya gak apa-apa kok, Yang..." Tanpa sadar, aku tersenyum menatapnya. Yah aku tak pernah bisa marah dengannya.
   "Yaudah, kamu mandi terus sarapannya di makan yah. Aku mau ke kampus dulu, ada kuliah pagi. Bye..." Rendy mengecup keningku sesaat sebelum ia menghilang dari hadapanku dan pergi untuk kuliah.
Setelah sosok Rendy menghilang dari pandanganku, aku kembali masuk ke kamar dan meletakkan nasi goreng itu di meja makan. Ku tatap nasi goreng yang aromanya itu terasa hingga ke hatiku.
   "Kenapa... Kenapa kamu selalu kasih aku harapan disaat aku hampir menyerah sama perasaan ini? Kenapa kamu sejukkan hati ini disaat hati ini hampir mati?! Sampai kapan semua ini akan terjadi? Kapan semuanya berakhir? Aku lelah jika terus seperti ini..." Aku terus memandang nasi goreng yang sudah dingin itu.
   Tanpa sadar, butiran bening air mataku tumpah lagi. Mengalir mengikuti bentuk lekukkan pipiku. Aku terus mengerang dalam kesakitan yang tertahan. Rasa sesak di dada ini adalah bukti nyata perihnya luka yang aku terima. Air mata yang seakan tak habis mengalir ini menjadi saksi, cintaku takkan pernah habis walau terus ia buang dan sia-siakan aku.
   *****

   Angin meniup lembut wajahku. Rambut sebahuku berkibas mengikuti arah tiupannya. Dari kejauhan ku tatap Rendy dan seorang gadis yang bergelayut mesra pada lengannya. Tidak salah dan tidak lain adalah Retha. Aku berharap angin menghempaskan tubuhku jauh-jauh dari sini. Pemandangan yang ada dihadapanku terlalu menyakitkan.
   "Chyla..." Rendy menatapku lirih. Pandangannya lurus menatap mataku. Ku pejamkan mataku sesaat, dan mengalirlah tetesan air bening itu dari mataku. "Aku tunggu kamu di kostku!" Aku langsung berlalu meninggalkan Rendy dan Retha. Tak peduli dengan Retha yang menatapku penuh keanehan dan tanda tanya di benaknya. Atau tatapan Rendy yang seakan berkata "Maaf.".
   Aku berlari sejauh aku bisa berlari. Melangkah sekuat kaki ku melangkah. Aku tau aku lelah dengan semua yang aku rasakan, tapi kenapa aku masih terus mencoba bertahan dan mempertahankan semua ini?

   Ku langkahkan kaki ku perlahan memasuki kostku. Saat ku buka pintu, tiba-tiba ada seseorang yang memelukku. Ya tentu saja Rendy yang memelukku.
   "Hari ini tepat tiga bulan hari jadi kita... Aku sayang kamu Chyla..." Rendy menatapku sambil tersenyum lembut.
Air mataku tiba-tiba saja berlinang tanpa ku sadari. Butiran bening itu mengalir begitu saja. Tapi kali ini aku menangis karena aku bahagia. Ya... Aku bahagia karena ternyata Rendy mengingat salah satu hal yang penting untukku.
   "Kok nangis? Ikut aku yuk!" Rendy menarikku untuk masuk ke ruang tengah kostku.
   Aku hampir tak percaya dengan apa yang aku lihat. Rendy telah menyiapkan makan malam untukku. Ternyata ia menyiapkan semua ini selama aku bergalau ria tadi sore.
   "Ini hadiah hari jadi kita ke tiga bulan!" Ucap Rendy sambil tersenyum padaku.
   "Untung kunci kost kamu ada ditempat biasa, jadi rencanaku lancar..." Sambung Rendy sambil menatapku lekat.
   "Makasih Yang..." Ku peluk erat Rendy yang kini ada dalam dekapanku.
   Rasanya aku tak ingin melepaskan pelukkanku padanya. Rasanya aku ingin waktu terhenti saat ini dan disini. Rasanya aku ingin terus merasakan hangat peluknya, juga kelembutannya saat ini. Inilah Rendy yang selalu aku nanti. Tuhan, jangan biarkan keindahan ini lenyap dalam sekejap.
   "Kamu kenapa sih? Udah yuk makan." Rendy pun menuntunku duduk di meja makan yang lebarmya tak seberapa itu.
   Kami berduapun makan makanan yang telah disiapkan oleh Rendy. Saat sedang asik makan, tiba-tiba ku rasakan ada sebuah benda keras yang sekeras batu didalam mulutku. Saat ku ambil benda keras itu, ternyata itu adalah sebuah cincin.
   "Ini..." Ku tatap cincin emas yang hampir tertelan olehku itu. Menatapnya dengan penuh pertanyaan dan dugaan dalam benakku.
   "Itu untuk kamu..." Rendy meraih cincin itu dari tanganku lalu disematkan dijari manisku.
   "Ini buat aku? Ya ampun, makasih ya sayang..." Ku angkat lima jari tangan kiriku dan menatap cincin yang tersemat dijari manisku.
   "Kamu udah percaya kan? Aku sayang sama kamu, Yang. Aku janji akan secepatnya jujur sama Retha, supaya dia gak ganggu aku lagi. Jadi percaya yah sama aku... Aku sayang kamu." Rendy menggenggam tanganku, dan menatapku tanpa sedikitpun terbesit keraguan dimatanya.
   "Iya, aku percaya..." Aku menatapnya sambil tersenyum. Ia pun ikut tersenyum menatapku. Senyum yang terlihat lebih manis dari biasanya. Entah mengapa aku melihat dan merasakan sebuah ketulusan darinya saat ini.
   "Yaudah, lanjutin makannya." Rendy pun kembali melanjutkan makannya. Sementara aku makan sambil terus menatap wajahnya.
   Aku tak akan pernah melupakan malam ini. Semoga ini adalah awal yang baik untuk hubungan kami, walaupun baru diusia hubungan tiga bulan aku bisa merasakan kebahagiaan bersamanya. Tapi semua itu sama sekali tak mengurangi rasa bahagiaku saat ini.
   Setelah selesai makan malam, aku dan Rendy menonton Televisi bersama. Tak mampu terucapkan lagi seluruh kebahagiaanku malam ini. Saat Rendy memeluk dan menatapku penuh cinta sambil menonton acara yang ada di televisi. Sungguh aku tak ingin semua kebahagiaan ini berakhir hanya bersampai saat ini.
   Ku sandarkan kepalaku saat kami sedang duduk menonton salah satu sinetron romantis favoritku. Rendy membelai rembut rambutku. Perlahan tangannyapun turun ke pinggulku, dan memelukku erat. Aku semakin terlarut oleh suasana indah ini. Aku sungguh menikmati sosok Rendy yang hangat malam ini.
   Ku lirik jam dinding yang tepat berada dihadapanku. Ternyata sudah jam dua belas malam. Pantas saja rasa kantuk ini sudah mulai tak terbendung. Ku lirik Rendy yang sedang serius menatap televisi, dan dengan perlahan aku mulai memejamkan mataku. Aku sudah benar-benar mengantuk. Ku pasrahkan diriku tertidur dalam pelukkan Rendy.
   Saat aku mulai terpejam dan bersiap menjemput mimpi indahku, ku rasakan kehangatan dan sentuhan yang lembut diatas keningku. Ku buka sedikit mataku untuk memastikan apa itu. Dan ternyata bibir Rendy yang mendarat dan mengecup keningku. Ingin aku membuka kedua mataku, lalu balas mencium pipinya yang lembut. Tapi aku tak mau kehilangan momen romantis ini. Jadi aku putuskan untuk tetap terpejam dan menikmati indah malam ini. Aku kembali merilekskan tubuhku dalam dekapannya dan ingin segera menjemput mimpi indahku malam ini.
   Tapi tiba-tiba, aku mendengar suara ponsel Rendy yang berdering. Ku rasakan tangan Rendy yang melepaskan pelukkannya dan menyandarkan tubuhku dipunggung sofa.
   "Ya, Retha? Ma.. Maaf... Oke aku kesana sekarang ya. Kamu tunggu aku." Ternyata itu adalah telepon dari Retha.
   "Maaf Chyla..." Rendy mengecup keningku lagi setelah membisikkan kata maaf itu.
   Tak lama ku dengar suara pintu yang terbuka dan tertutup kembali. Ku buka kedua mataku secara perlahan, ternyata dugaanku benar. Aku tak lagi menemukan sosok Rendy disini. Rendy benar-benar pergi untuk Retha.

   Sebenarnya seberapa besar arti Retha untuk Rendy? Aku pacarnya sekarang, tapi kenapa Rendy selalu lebih memilih Retha? Apa dia masih mencintai Retha? Tapi bukankah Retha telah membuangnya?
   "Kenapa Rendy?! Kenapa?!" Aku terduduk lemas dan menangis sesegukkan. Menangis meratapi pahitnya kenyataan yang harus aku terima.
   Aku masih ingat dengan jelas saat Rendy berjanji akan melupakan Retha untukku. Apakah Rendy sudah melupakan janjinya? Semudah dan secepat itukah?
   Teringat dengan jelas saat ia bilang akan melupakan Retha yang telah menyakiti dan meninggalkannya begitu saja. Lalu memulai kisah yang baru denganku, dengan cinta yang baru.
   "Tidak! Ini bukan salah Rendy, tapi ini salah Retha! Retha yang datang kembali dalam kehidupan Rendy, dan menghancurkan semuanya! Semuanya salah Retha!" Tiba-tiba aku berteriak histeris didalam tangisku. Dadaku terasa semakin sesak. Ini sungguh menyakitkan. Luka ini tak dapat lagi ku tahan.
Baru saja aku merasakan hal indah bersama Rendy, tapi lagi-lagi harus berakhir begitu cepat. Rendy selalu berubah tiap saat ada hal yang berhubungan dengan Retha. Rendy seakan selalu ada tiap Retha membutuhkannya. Apa memang benar, bagi Rendy... Rethalah yang lebih penting?
   "Tidak! Rendy bilang... Dia sudah melupakannya! Rendy gak mungkin cinta lagi sama Retha... Tidaak...! Aku tidak mau semuanya berakhir sia-sia!" Ku dorong semua gelas dan piring yang ada diatas meja yang ada dihadapanku.
   "Aku gak mau penantianku sia-sia... Tiga tahun aku menanti... Tiga tahun aku berharap... Aku gak mau semua ini berakhir dalam tiga bulan! Retha gak boleh rebut Rendy kesisinya lagi!" Teriakku sambil terus menangis terisak.
   Aku biarkan tubuhku terkulai diatas lantai. Aku tak mampu mengelak dari perasaanku yang begitu dalam. Aku pun tak mampu menahan rasa sakit yang sudah terlalu lama dibiarkan. Kenapa harus selalu aku yang terabaikan? Padahal aku selalu ada buat Rendy. Bahkan saat dia dikhianati dan disakiti Retha, akulah yang selalu ada disampingnya. Tapi apa rasa itu tidak akan pernah ada? Perasaan Rendy pada Retha... Apa tak akan pernah aku dapatkan? Aku juga ingin disayangi dan dicintai seperti Rendy mencintai dan menyayangi Retha.
   Aku berjalan ketempat tidurku, dan merebahkan tubuhku diatas tempat tidurku. Aku berharap semua kejadia pahit malam ini hanya mimpi. Aku berharap saat aku terbangun dari tidurku nanti, aku masih berada dalam pelukan Rendy seperti tadi. Seperti saat sebelum Retha menelepon Rendy.
   *****

   Dering panggilan masuk dari ponselku membuatku terbangun dari tidur nyenyakku. Ku raih ponselku yang sejak tadi berdering tanpa henti.
   "Halo... Kenapa Stev?" Aku masih berusaha mengumpulkan nyawaku.
   "Rendy kecelakaan sama Retha... Lo cepet kesini yah! Rumah Sakit Intan Husada." Suara Steven dari telepon sungguh membuatku sesara bagai tersedak. Rasanya aku mulai sesak napas. Ku biarkan ponselku terlepas begitu saja dari genggamanku.
   Tiba-tiba saja air mataku mengalir. Tidak, aku harus segera bertemu Rendy. Aku tak bisa hanya berdiam diri dan menangis disini. Rendy membutuhkan aku sekarang. Aku pun segera berlari menuju kamar mandi untuk mandi dan sesegera mungkin pergi ke rumah sakit.
   *****

   Setelah sampai di rumah sakit Intan Husada, aku langsung berlari menuju tempat dimana Steven menungguku. Steven adalah Sahabat Rendy sejak kecil sekaligus sahabatku sejak satu tahun lalu.
   "Stev!" Aku menghampiri Steven yang sedang berdiri diruang tunggu rumah sakit.
   "Chyla, sekarang Rendy masih di UGD..." Stev terlihat sangat panik dan cemas.
   "Rendy kecelakaan dimana, Stev?" Ku tatap lekat wajah Steven yang terlihat tak tenang itu.
   "Arah rumah Retha... Rendy kecelakaan pas dia mau anter Retha pulang. Retha udah dipindahin dari ruang UGD ke kamar rawat, karena lukanya gak terlalu parah." Jelas Rendy.

   Aku mundur beberapa langkah untuk mencari tempat bersandar. Tubuhku langsung lemas. Ku sandarkan tubuh yang tak berdaya ini di dinding rumah sakit.
   Kenapa harus selalu Retha? Semua gara-gara Retha... Kalo dia gak minta Rendy buat jemput dia, pasti Rendy masih nemenin gue di rumah. Dan kecelakaan ini gak akan pernah terjadi. Semua salah Retha, Stev!" Aku menangis lagi untuk kesekian kalinya.
   Steven langsung mengangkat tubuhku masuk dalam pelukannya. Steven mengusap lembut pundakku, membuatku semakin tak segan lagi menumpahkan air mataku dalam peluknya. "Gak ada yang salah, Chyla. Ini semua takdir. Mungkin nasib Rendy dan Retha lagi kurang beruntung, makanya kecelakaan ini gak bisa lagi dihindari. Yang harus lo lakuin sekarang adalah sabar, dan terus berdoa buat Rendy." Ucap Steven.
   "Thanks Stev. Lo bener. Gue gak boleh lemah. Gue harus kuat." Ku lepas pelukan Steven dan ku hapus kedua air mataku yang sejak tadi mengalir diatas pipiku.
   Saat hatiku sudah mulai tenang, tiba-tiba ruang UGD terbuka. Rendy yang masih belum sadar itupun keluar dan akan dipindahkan ke kamar rawat. Aku dan Steven membuntuti para suster yang membawa Rendy. Tapi sayangnya, aku ataupun Steven tak diizinkan masuk sebelum Rendy sadarkan diri.
   *****


   Aku dan Steven menunggu Rendy sadar didepan kamar rawatnya. Tapi tiba-tiba ada sebuah kursi roda yang berhenti dihadapanku.
   "Bagaimana keadaan Rendy? Apa dia udah sadar?" Retha menatapku dengan raut wajah yang penuh kekhawatiran.
   "Belum..." Jawabku singkat.
   "Lo sendiri, Tha?" Rendy menatap Retha yang masih terlihat pucat.
   "Gue gak apa-apa kok. Cuma masih lemah aja." Jawab Retha sambil memamerkan senyumnya pada Rendy.
   "Chyla... Maafin gue yah..." Ucapan Retha membuatku beralih menatapnya.
   "Maaf? Untuk kesalahan yang mana? Kalo masalah kecelakaan ini, liat aja gimana nanti. Kalo terjadi sesuatu hal yang parah sama Rendy, gue gak akan maapin lo!" Ucapku tegas.
   "Bukan, tapi soal hubungan kalian. Sebenernya, gue udah tau sejak lama. Tapi gue sengaja pura-pura gak tau, karena gue gak mau Rendy ngejauh dari gue. Gue rasa ini egois, tapi gue mau Rendy balik lagi sama gue..." Retha memasang wajah memelasnya.
   Aku terdiam sesaat. Aku muak dengan wajahnya yang meminta dikasihani, tapi dia sendiri tak mengasihani orang lain.
   "Apa?! Gue gak salah denger? Apa kabar tuh cowok lo yang katanya lebih hebat dari Rendy? Gue gak akan kembaliin apa yang lo buang. Lagi juga gue gak rebut dia dari lo kok, lo sendiri yang buang dia. Jadi buat apa gue kembaliin ke lo?" Aku menatap Retha dengan muka yang merah padam menahan rasa kesal dan amarahku.
   "Tapi gue masih sayang banget sama Rendy. Dan gue yakin, Rendy juga masih sayang sama gue. Buktinya dia masih mau nemenin gue kemanapun. Lagi juga mungkin lo cuma pelampiasan." Ucapan Retha membuatku tak bisa lagi membendung amarahku.
   "Lo itu... Ah.." Saat aku hendak menampar Retha, Steven menahan tanganku.
   "Rendy masih belum sadar, tapi kalian malah berantem kayak anak kecil gini?! Ayolah yang harus kita lakuin sekarang berdoa buat Rendy, bukan berantem kayak gini..." Steven menatapku dan Retha bergantian.
   "Oke, lebih baik kita tanya aja sama Rendy langsung... Dia pilih lo apa gue..." Ucap Retha sambil memundurkan kursi rodanya menjauh dari hadapanku.
   "Rendy pacar gue! Dia gak perlu milih siapapun lagi!" Ucapku dengan suara yang hampir berteriak.
Steven mengusap pundakku lembut untuk meredam emosiku, sementara Retha hanya diam memasang wajah polosnya.
   "Pasien yang bernama Rendy sudah sadar ‎, mari silahkan masuk. Tapi maaf sebelumnya, hanya satu yang bisa masuk." Ucap suster yang merawat Rendy.
   "Gue yang masuk!" Ucapku sambil berjalan cepat hendak masuk.
   "Gue yang masuk!" Retha menarik bajuku saat aku akan masuk.
   "Bisa gak sih, sekali aja lo gak ganggu gue sama Rendy?!" Aku mendorong tangan Retha dengan kasar.
   "Sana lo masuk." Ucap Steven sambil menarik kursi roda Retha menjauh dariku.
   ''Aish!" Retha menggerutu kesal menatapku. Aku pun langsung masuk kedalam kamar rawat Rendy.

   "Rendy..." Aku duduk tepat disebelah ranjangnya.
   "Chyla, maaf..." Suara Rendy terdengar lirih. Ku tahan bibirnya dengan jari telunjukku.
   "Kamu gak perlu minta maaf. Tanpa kamu minta maaf, aku udah maafin kamu... Selalu maafin kamu." Ku genggam tangannya yang terpasang jarum infus.
   "Tapi..." Ku tahan lagi bibir Rendy yang ingin mengucapkan sesuatu entah apa.
   "Boleh aku tanya satu hal sama kamu?" Ku tatap lekat wajah Rendy yang masih terlihat pucat. Ia tersenyum dan menganguk pertanda menjawab iya.
   "Apa kamu sayang sama aku?" Ku tahan air mataku yang sudah mendesak ingin keluar dan mengalir.
   "Tentu. Aku sayang kamu, Chyla. Kamu selalu ada untuk aku, kamu yang selalu setia nunggu aku, kamu yang tulus sayang sama aku, dan kamu yang selalu bersabar buat aku... Aku sayang kamu." Jawab Rendy sambil menggenggam tanganku.
   "Kalo Retha? Apa kamu sayang dia?" Pertanyaanku seperti membuatnya terkejut. Genggaman tangannya pada tanganku mulai mengendur.
   "Dia cuma masa lalu aku, aku akan lupain dia untuk kamu." Rendy menjawab tapi tidak menatapku.
   "Rendy, tatap aku... Bilang kalo kamu ga sayang sama Retha..." Air mataku tak lagi dapat ku tahan. Kini butiran bening itu menetes dan mengalir perlahan mengikuti lekukkan bentuk pipiku.
   "Maaf..." Hanya itu yang diucapkan Rendy saat ia menatapku penuh keraguan.
   "Aku tau... Kamu gak perlu minta maaf sama aku, Ren... Hubungan kita cukup sampai disini. Lebih baik kamu kembali sama Retha. Aku tau, perasaan cinta kamu ke Retha sebesar perasaan cinta aku ke kamu. Jadi lebih baik aku yang mundur, walaupun ini gak adil buat aku... Tapi aku yakin ini lebih baik. Karena jujur, aku selama ini jenuh sama hubungan kita. Setiap hal yang berhubungan sama Retha, pasti kamu langsung berubah. Hati aku sakit, Ren... Jujur, aku capek... Jadi aku rasa semua udah cukup. Kamu dan aku gak perlu pura-pura lagi. Makasih yah, aku gak akan lupain semuanya. Dan aku harap, kamu juga gak lupain aku. Cepet sembuh yah, Rend...." Ku kecup kening Rendy sesaat sebelum aku meninggalkannya, dan keluar dari kamar rawatnya.
   "Chyla...." Ku dengar suara lirih Rendy yang memanggilku, namun tak ku hiraukan dan tetap berjalan keluar. Ku hapus air mataku yang sejak tadi menggantung dipipiku.
   "Gimana Rendy?" Steven menghampiriku sesaat aku tiba diambang pintu.
   "Gue balik dulu yah..." Ucapku sesaat sebelum aku berlalu meninggalkan Steven.
   Aku berlari secepat aku bisa meninggalkan tempat ini. Aku ingin segera sampai di kostku, dan meluapkan semuanya. Menangis, berteriak dan melepaskan semua rasa sakit hati bercampur kecewa yang aku rasakan.
   *****

   Angin bertiup lembut menerpa wajahku. Ku tatap air yang mengalir dibawah jembatan tempatku berdiri sekarang. Sudah tiga hari aku menyendiri disini. Sekedar untuk mengobati dan menenangkan hatiku yang tersakiti. Ternyata, melupakan Rendy bukanlah hal yang mudah untuk aku lakukan. Aku menyukai Rendy hanya dalam tiga detik saat aku pertama kali melihatnya. Tapi mungkin butuh waktu seumur hidupku untuk melupakannya. Tapi aku percaya, seiring waktu yang berjalan... Aku pasti akan melupakannya.
   "Chyla..." Ku dengar suara yang tak asing memanggilku. Ku alihkan pandanganku kearah suara itu, dan ternyata itu Rendy.
   "Kamu... Tau dari mana aku disini?" Ku tatap Rendy yang berjalan semakin dekat kearahku.
   "Aku khawatir sama kamu, Chyla..." Rendy langsung memelukku ketika dia sudah berada dihadapanku.
   "Aku baik-baik aja..." Ku lepaskan tangan Rendy yang memelukku.
   "Tapi Chyla... Aku... Mau minta maaf buat semuanya. Aku memang udah balikan sama Retha, tapi aku masih ngerasa kehilangan kamu." Ucapan Rendy lagi-lagi membuat hatiku sakit bagai tercabik.
   "Lupain aku, Rendy. Kamu gak boleh egois. Aku gak pernah minta kamu milih antara aku dan Retha, karena aku gak mau buat kamu bingung. Cukup aku yang sakit, cukup aku yang mundur, dan cukup aku yang rasain juga simpan luka ini." Ku peluk Rendy erat. Mungkin ini adalah pelukan terakhirku untuk Rendy. Aku takkan bisa memeluknya lagi, takkan bisa menyentuhnya lagi.
   "Aku gak akan pernah menyesal pernah mencintai kamu dan gak akan merasa dendam sedikitpun walaupun aku pernah tersakiti selama aku bersama kamu. Semua karena selama ini aku tulus. Ketulusanlah yang membuat aku tegar. Ketulusanlah yang selalu membuatku memaafkan. Dan ketulusanlah yang membuatku lebih ikhlas melepaskan kamu. Aku harap kamu ngerti, Ren. Aku butuh waktu untuk obatin luka hatiku ini." Ku lepas pelukanku dan ku tatap lekat wajahnya yang terlihat sangat menyesal.
   "Oke... Makasih buat semuanya ya, Chyla..." Rendy pun melangkah mundur perlahan meninggalkan aku. Aku terus tersenyum menatap kepergiannya.

   Aku percaya, sejauh apapun kita akanmelangkah dan walaupun itu tak sejalan, suatu saat takdir akan mempertemukan kita. Jika memang kita telah dijodohkan. Dan walaupun kini kita harus berpisah menjalani
Kehidupan masing-masing, tapi ketahuilah... Bahwa dirimu adalah salah satu hal yangpaling berharga dalam hidupku.

0 komentar:

Posting Komentar